Monday, January 2, 2012

Menuju Masyarakat Komunikatif review

Menuju Masyarakat Komunikatif

Habermas dan masyarakat komunikatif
            Paradigm filsafat kesadaran, atau apa yang disebut rasio yang berpusat pada subjek, adalah segala bentuk pemikiran yang menempatkan kenyataan, baik masyarakat maupun alam, sebagai objek. Berpikir secara paradigm adalah segala kecendrengan objektivisme dan positivism bukan hanya filsafata modern, melainkan juga dalam ilmu-ilmu sosial kemanusiaaan yang diturunkannya. Menurut Habermas dalam hubungan dengan para pemikir postmodern, sebuah aliran filsaft konteporer yang cenderung beranggapan bahwa proyek modernitas menuju masyarakat rasional adalah perwujudan kekuasaaan dalam bentuk system ekonomi dan
adminitrasi birokratis. Terdapat lima kategorisasi dari filsafat: (1) neo-positivisme, (2) fenomenologi, (3) hermeniotik, (4) teori kritis ( dan neo marxisme), (5) postmodern, yang tidak hanya mengkritik melainkan juga mau meninggalkan program-program keempat aliran sebelumnya. Horkheimer berusaha mengembalikan Marxisme menjadi filsafat kritis yang dipadukan dengan kritisisme Kant, Hegel juga psikoanalisis Freud, yang kemudian disebut Mazhab Frankfurt.
            Ada enam tema dalam program Horkheimer yaitu (1) integrasi masyarkat postliberal (2) sosialis dan perkembangan ego (3) media masa dan kebudayaan massa (4) psikologis sosial protes, (5) teori seni dan (6) kritik atas positivism. Titik tolak dari teori kritis Horkheimer adalah masalah positivism dalam ilmu-ilmu sosial yaitu anggapan bahwa ilmu-ilmu sosial bebas nilai (value free), terlepas dari praktis sosial dan moralitas dapat digunakan sebagai alat untuk memprediksi, bersifat objektif dan sebagainya. Fasisme dan stalinisme adalah fenomena yang diacu oelh mazhab franhfurt sebgai kristalisasi ideology yang menindas, tapi masyarakat kapitalisme lanjut dan negara kesejahteraan barat. Pencerahan sebagai cikal bakal berpikr secara positivistic yang kemudian disebut Horkeimer sebagai “rasio instrumental”, oleh adorno sebagai “pemikir identitas” dan Marcuse sebagai “rasionalitas teknologis”
            Dialek pencerahan sebuah istilah untuk menjalin antara mitos dan rasio merupkan pendirian yang mencolok dari pihak Mazhab Frankfurt bahwa teori kritis yang dilandasi oleh rasio kritis itu sendiri bisa berubah menjadi mitos atau ideology dalam bentuk baru. Komunikasi adalah titik tolak dari habermas dan menjadi fundamen dalam usaha mengatasi kemacetan teori kritis pendahulunya. Soalnya adalah bagaimana pengetahuan kit atentang masyarakat dan sejarah itu hanya sebuah kontemplasi, melainkan sekaligus mendorong praksis perubahan sosial. Praksis adalah konsep sentral dalam tradisi filsafat kritis ini. Menurut habermas, bahwa pendahulunya mempunyai kelemahan mendasar yakni tidak hanya mengandaikan praksis sebagai kerja melinkan “tindakan rasional-bertujuan” tapi juga rasionalitas sebagai penakluk, kekuasaan yang disebut “rasionalitas sebagai subjek”. Kelemahan dari filsafat Marx adalah mempersempit praksis pada kerja, sehingga kritik, yakni perjuangan kelas revolusioner yang dipahami sebagai penakluk kelas atas kelas. Habermas berpegang pada pendapat masyarkat komunikatif adalah tujuan universal masyrakat.
            Habermas berpendapat tujuan dari teori-teori kritis dengan kepentingan emansipatoris adalah membantu masyarakat untuk mencapai kepentingan otonomi dan kedewasaan. Ada dua macam argumentasi: perbincangan atau diskursus (discourse), dan kritik. Diskursus atau discouse bertujuan untuk mencari konsensus atau klaim pembenaran yang disebut sebagai diskursus teoritis, sedang untuk mencapai konsensus atas klaim ketepatan atau disebut diskursus praktis. Sedang dikursus mencapai consensus atas klaim komprehensibilitas disebut klaim eksplikatif. Sedang bentuk kritik yang kedua adalah kritik terapeutis yaitu menyingkapkan penipuan diri masing-masing pihak yang berkomunikasi.
            Habermas menulis tentang pandangan tentang perubahan dan modernisasi beberapa esai mengenai teori rasionalisasi dan teori evolusi sosial. Menurut habermas mengenai modernitas kapitasli adalah modernitas yang terdistorsi sebuah dialektika pencerahan dan cacat itu hanya dapat diatasi dengan pencerahan lebih lanjut atau tindakan komunikatif yakni berupa negasi tetap terhadap rasio yang berpusat pada subjek. Habermas berpendirian bahwa modernitas adalah proyek yang belum selesai dan tugas historis. Teori kritis adalah membuat pencerahan yang lebih lanjut menuju masyarakat yang komunikatif.
            Pada tahu 1880 terjadi sebuah peristiwa yang bernama Methodenstreit- sebuah peristiwa pembantahan metode, antara dua ahli ekonomi C, Mengger dan Schmoller. pada abad ini juga terjadi perdebatan anatara dua Filusuf Neo-Kanatian, Windelband, dan Rickert. Pada tahun 1909 dan 1914 anatara sosiaolog Max Weber danSombart, perdebatan jug adilakukan oleh Karl Popper dengan beberapa cendekiwan yang pada akhirnya di kenal dengan Mazhab Frankfurt. Habermas sebagai bapak pendiri fenomenologi, mendapat kritikan hebat dari Edmund Husserl dalam tiga langkah :yaitu
1)    ilmu pengetahuan jatuh pada objektivisme yakni cara pandang melihat dunia sebagai susunan fakta objektif tentang dunia berasal dari Lebenswelt.
2)    Kesadaran manusia atau subjek ditelan oleh penafsiran objektivisme itu, karena ilmu pengetahuan sama sekali tidak membersihkan diri dari kepentingan dunia kehidupan sehari-hari.
3)    Bahwa teori yang dihasilkan berdasarkan pembersihan pengetahuan dari kepentingan itu adalah teori sejati yang dipahami dalam tradisi pemikiran barat.
Namun habermas tidak setuju akan tujuan akhir dari denomenologi untuk menghasilkan teori murni yang diyakini hasserl dapat diterapkan dalam ilmu praktik. Teori murni hasil pendekatan fenomenologi itu adalah tujuan ontologi.
Menurut Habermas teori sudah menyimpang jauh dari konsep teori. Asal kata teori dari Theoria yang berarti kontemplasi atas kosmos atau realitas. Bios theoretikos dalam bahasa yunani menunjukkkan bahwa teori adalah salah satu cara hidup. Menurut habermas, dengan melalui kontemplasi, filusuf memisahkan unsur tetap unsur yang berubah-ubah. Usaha untuk menemukan tatanan yang tetap abadi dalam kosmos dan seluruh realitas itulah ontologi, sedang yang ingin dicapai oleh ontologi adalah sebuah penjelasan objektif tentang seluruh realitas dengan kata lain, teori murni. Habermas pun mengkaitkan untuk memperoleh teori ilmu dengan proses emansipatoris.
Habermas membedakan ilmu pengetahuan melalui tiga cakupan :
                       i.        Ilmu emansipatoris analitis (ilmu-ilmu alam),
                      ii.        Ilmu historis-hermeneutis (ilmu sosial kemanusiaan)
Hebermas mengacu pada pemikiran Dilthey, ilmu-ilmu yang termasuk dalam cakupan ini hanya berusaha memehami makna (sinnverstehen), dan bukan menjelaskan (erklaren) fakta yang di observasi. Tujuan penafsir adalah mengkomunikasikan kedua dunia makna itu dan hasil tafsiran itu diperlukan untuk memahami tingkah laku sosial yang diarahkan oleh makna, untuk kepentingan yang bersifat praktis dan untuk mencapai saling pengertian dan konsensus.
                     iii.        Ilmu kritis.
Dengan dasar dari penelitian dari mazhab frankfurt, habermas mengatakan refleksi diri adalah kritis, yang diarahkan untuk kepentingan kognitif emansipatoris.
            Dalam tesisnya hobermas mengatakan suatau pemahaman baru yang bertentangan dengan paham yang lazim pada ilmu positif. Salah satu tesisnya berbunyi « pencapaian subjek transendental memiliki dasar dalam sejarah alam dan manusia », dengan pengertian bahwa pengetahuan yang bisa melamapaui data konkret (transdental) itu tidak berasal dari langit. Pengetahuan adalah hasil perkembangan evolusioner species manusia. Ia menambahkan bahwa kepentingan yang mengarahkan pengetahuan muncul dari alam sekaligus dari keputusan kita dengan alam karena kebudayaan.
            Wawasan antropologis marxis mengenai kerja dan kebudayaan, kebudayaan adlah hasil kerja manusia, dan melalui pekerjaan manusia mewujudkan hasrat-hasrat dan naluriahnya justru dengan cara menunda naluri itu. Istilah yang dipakai Habermas pada tesisnya keduanya «pengetahuan berlaku sebagai pertahanan diri sekaligus melampaui pertahanan diri » adalah «kuasi-transendental ». pada tesis ketiganya pada sebuah pidatonya Habermas mengatakan bahwa kepentingan kognitif manusia sebagai spesies sejak awal terwujud dalam tiga medium oraganisasi sosial yaitu kerja, bahasa, kekuasaan. Ketiga medium itu secara hakiki memiliki fungsi pertahanan diri atau penjagaan kelangsungan hidup bangsa manusia.
            Filusuf yang digemari oleh habermas untuk menjawab tentang refleksi diri adalah filusuf idelis yang sejaman dengan Hegel yakni Fichte yang mengatakan bahwa rasio mengandunf dua segi : kehendak dan kesadaran. Bahkan pandangan Fichte lebih jelas dari pada pandangan filusuf Hegel, dia berusaha menunjukkan bahwa rasio kita memiliki kemampuan untuk menentukan dan mengatasi kendala yang merintangi perkembangan diri kita untuk mencapai otonomi dan tanggung jawab atau kedewasaan (muendigkeit), dengan contoh tuan-budak. Menurut Habermas muendigkeit adalah kensensus bebes paksaan, pada tesis Habermas yang lain : « kesatuan antara pengetahuan dan kepentingan dapat dibuktikan dalam suatu dialektika yang memiliki jejak sejarahnya dari dialog yang ditindas dan merekonstruksi apa yang telah ditindas ». menurut habermas ilmu-ilmu pengetahuan jatuh pada saintisme  karena secara implisit menganut paham teori murni yang dikembangkan oleh ontologi itu, karena teori murni adalah semu, maka ilmu pengethuan menyembunyikan kaitan pengtahuan dan kepentingan lewat kesemuan itu, lalu menunujukkan paham teori murni ini sebagai bentuk kesadaran palsu dalam pengrtian marxis.
            Dengan adanya analisis dari Horkheimer, Adorno, dan Marcuse yang terkenal dengan mazhab frankfurt mengenai rasio yang berfungsi sebagai alat netral untuk mengoprasikan suatu sistem. Pemutlakan hal-hal teknis pada kehidupan sosial yang bersifat praktis, pengebirian kepentingan emansipatoris rasio dan dogmatisme ilmiah dan rutinitasasi keputusan dalam teknologi adalah persoalan-persoalan yang dicakup dalam kesadaran positivistik kebudayaan ilmiah. Habermas menyelidiki tiga filusuf (Paul Thiry d`Holbach, Fichte dan Marx). Yang membahas tentang “dogmatism, rasio dan keputusan”.
            D`holbach dalam bukunya System of Nature, mengatakan “dogmatism” sebagai prasangka-prasangka yang membuat pikiran menjadi rancu.  Prasangka adalah opini atau pendapat yang menyelubungi pikiran seseorang sejak masa kecil. Pengertian yang dihasilkan oleh rasio bukanlah prasangka, melainkan pengertian yang dihasilkan melalui pengalaman atau belajar, singkatnya riset. Dogmatisme adalah metafisis, sedang rasio kritis adalah yang melawannya adalah pengertian berdasarkan hasil penelitianm misalkan fisika. Habermas memadukan “prasangka ” dengan istilah Marxis ” kesadaran palsu”, habermas menegaskan karena prasangka mengebiri kebebasan dan menyangkal otonomi, maka rasio yang menelanjangi kepalsuan prasangka itu bukanlah rasio yang netral melainkan rasio yang terlibat dan memihak. Semboyan pencerahan adalah Spere Aude!, beranilah berfikir sendiri. Sedang pemisahan manusia dan lama juga dibahas oleh d`Holbach sebagai hasil rasio, dengan mengatakan “manusia tidak berbahagia sebab dia memiliki pandangan yang keliru tentang alam”.menurut habermas pemisahan itu selang beberapa lama menjadi radikal, sehingga teori diasingkan oleh tindakan, dan rasio kehilangan komitmennya. Rasio dipisahkan dari keputusan.
            Fichte yang berpendirian dengan idealis, mengangap rasionalitas bukanlah hasil studi atas alam. Dogmatisme pun mendapat pengertian lain pula. Menurut Fichte idealism berpendapat bahwa realitas pada akhirnya bersifat mental, rasional, dan tidak material. Dogmatisme adalah ‘kepercayaan akan benda bagi dirinya sendiri”. Pengetahuan dan kesadaran manusia membeku dalam bentuk dogmmatisme, dan ini dapat diatasi dengan aksi rasio. Apa yang dipahami oleh Fichte tentang aksi. Menurut habermas adalah kesatuan antara rasio dan keputusan. Arah aksi adalah kebebasan dan kebebasan diraih lewat tahap-tahap pengatasan dogmatisme.
            Menurut marx, “dogmatisme” adalah “ideology”, sedang “rasio yang terlibat” adalah “kritik ideology”. Habermas berpendapat bahwa yang dipahami oleh marx sebagai rasio adalah, “komitmen kepada rasionalitas yang menyingkirkan dogmatisme”. Konsep ini yang bersifat kritis sebab tidak berkaitan dengan dunia, yang melampaui akal sehat ( seperti idealism), melainkan dengan keberadaan manusia dalam masyarakat industry.
            Menurut habermas hasil afirmatif dari ilmu pengetahuan : memperluas dan merasionalitaskan kemampuan kita agar dapat secara teknis mengontrol objek dan proses objektifkandalam alam maupun masyarakat. ia jug amenjelaskan tentang kritk ideology dalam pengertian positivisme: semua klaim yang betentangan deng orientasi tindakan harus bertola, kecuali teori yang memperkuat dan menyempurnakan untuk kontrol teknis. Sedang “Dogmatisme” dengan wajah baru yakni semua teori yang terkait dengan praksis tetepi tidak terkait dengan kontrol teknis. Dalam praksis ada istilah decision menjadi decisionism: yakni sebuah pandangan bahwa segala sesuatu yang menyangkut praktik harus diputuskan begitu saja tanpa banyak mempersoalkan nilai dan tujuan penting dari pada kegunaan teknisnya.
            Habermas mengatakan kritk ideologis positivistik tidak netral, dikarenakan rasio ini tidak bebas nilai, melainkan justru normative. Dalam bukunya Dogmatism, reason and decision habermas mengatakan: hanya rasio yang sepenuhnya sadar akan kepentingan dan kemajuan refleksi ke arah otonomi dan tanggung jawab yang tak henti-hentinya berfikir dalam setiap diskusi rasional itulah yang akan mampu meraih kekuatan transenden dari kesadaran akan keterlibatan maerialistiknya sendiri. Positivism adalah sebauh cara berpikir, cara memandang dunia dan kehidupan yang dianut oleh masyarakat modern. Dilukiskan melalui pergeseran makna rasio yakni, “rasio yang memihak” kehidupan sosial ke “rasio netral” yang menarik diri dari kehidupan sosial. Pergeseran juga terjadi pada makna dogmatism: yakni dari dogmatism sebagai “kesadaran palsu”, ke dogmatism ke pemihakkan pada nilai. Sedang yang terjadi pada posistivisme adalah penolakan atau refleksi mengenai peranan ilmu dalam kehidupan sosial dengan slogan kebebasan nilai dan oleh karena itu, habermas merumuskan metode teori kritisnya sebagai “refleksi diri” untuk memperlihatkan bahwa positivism juga sebuah dogmatism dalam bentuk baru.
            Menurut teori kritis mazhab Frankfurt dengan kata-kata habermas psikoanalisis adalah “refleksi diri metodis”. Psikoanalisis adalah sebuah bentuk interprestasi dan termasuk dalam “seni tafsir” atau ilmu hermeneutik yang pernah dilakukan oleh Freud. Seperti pengarang teks adalah orang yang sedang bermimpi dan teks tersebut adalah mimpinya. Habermas mengatakan ada dua perbedaan antara hermeneutic biasa dan tafsir mimpi psikoanalistis:
pertama mengenai jenis teks, hermeneutik biasa menghadapi sebuah teks yang “transparan”, sedang teks mimpi dihadpi oleh psikoanalistis, adanya teks “terselubung”. Pengarang dianggap menulis struktur makana yang diobjektifkan dalam masyarakat, karena itu penafsir dapat lebih dulu memahami struktur makna itu dan kurang memahami pengarang yang merepentasikannya. Simbul dalam teks menurut habermas adalah hasil distorsi yang tak sadar dilakukan oleh pengarangnya akibat gangguan-gangguan psikisnya.
Kedua adalah menganai bahasa yang dipakai dalam kedua tesk. Habermas mengatakan bahwa teks itu berisi language-games, language-games ialah adanya ketertariak timbal-balik antara unsure linguistic (kata-kata yang diucapkan), pola-pola interaksi dan ekspresi (mimic dan gerak-gerik).
            Simtom adalah gejala gangguan psikis, sedang penyakit yang diderita pasein disebut neurosis. Neurosis adalah penyakit yang mendorong pasien menyembunyikan penipuan dirinya sendiri. Habermas menyebutkan hubungan neurosis dengan makna adalah struktur simbolis, melalui tiga dimensi: bahasa, tindakan, ekspresi. Habermas berpendapat bahwa hermeneutic dalam psikoanalis ada dua tugas: pertama menerjemahkan gambar mimpi yang penuh rahasia yang jelas pada kehidupan nyata. Kedua hermeneutic dalam tidak hanya memahami teks terdistorsi, melainkan juga distorsi itu sendiri. Memahami teks yang terdistorsi, psikoanalisis harus melakukan refleksi yakni dengan menelusuri kejadian teks mimpi, yang biasanya terdiri dari symbol, metaphor, alegori dan semantic terselubung lainnya. Ada dua penggolongan bahasa pada teks mimpi yang di bedakan oleh habermas “bahasa publik” dan “bahasa privat”. Dengan demikian teks mimpi merupakansebuah kompromi antara pengganti sensor sosial dalam diri seseorang dan motif tak sadar yang disingkirkan dari komunikasi publik. Tugas dari hermenuetik-dalam adalah untuk menyiapkan semacam amnesia yang menyembunyikan ingtan akan tahun pertama kehidupan orang tersebut.
Pendapat habermas terhadap psikoanalisis freud bahwa sebagai hermeneutic-dalam, psikoanalisi dilandasi oleh sebuah pandangan kritis. Menurut habermas teori kritis sebagai bentuk pengetahuan yang melakukan “refleksi diri” artinya pengetahuan tidak sekedar pengetahuan murni yang lepas dari kepentingannya, melainkan justru mengakui kepentingan emansipatoris sebagai daya terangnya. Dan dia mengatakan psikoanalisis adalah sebuah refleksi-diri yang dilakukan secara modis. Habermas mengatakan metode tafsir mimpi sebagai titik tolak pembahasannya tentang psikoanalisis bukan hanya karena tafsir mimpi menjadi titik tolak perkembangan psikoanalisis itu sendiri tetapi juga karena praktik tafsir mimpi sama dengan praktik hermeneutic. Habermas membedakan dua dimensi dalam praksis kehidupan sosial manusia, yaitu praksis kerja yang bertujuan untuk mengontrol dan menaklukan proses alam atau proses objektifan dan praksis komunikasi yang bertujuan untuk mencapai saling pengertian intersubjektif.
Sejauh dihadapi sebagai “teks” tuturan subjek atau pasien, sudah terdistorsi oelh tiga unsur yang menyimpang dari “teks normal” yaitu aturan grammer bahasa sehari-hari, norma-norma tindakan, dan pola ekspresi yang dipelajari lewat kebudayaan, dan distorsi macam itu disebabkan karena “simtom” yang dialami subjek yang menghasilkan fiksasi gagasan, repetisi tingkah laku, dan pola-pola ekspresi yang memaksa. Menurut habermas proses penerjemahan itu sendiri adalah proses refleksi, sebab subjek menelusuri tahap sejarah hidupnya yang ditidak disadarinya dan mengangkatnya ke taraf kesadaran, sehingga ia mampu memahami proses pembentukan dirinya menuju kedewasaan. Tugas sang analis adalah menggempur resistensi dari pihak pasien dengan member informasi tentang apa yang tidak diketahuinya sebagai akibat dari represinya sendiri.
Tiga alasan yang diberikan oleh habermas mengapa pengetahuan analisis merupakan refleksi diri, pertama, pengetahuan ini mencakup dua segi yang setara : segi konitif dan segi afektif-motivasional, pengetahuan macam itu adalah kritik karena ia bertolak dari kebutuhan (pasien) untuk perubahan praktis. Kedua, dalam praktik terapi itu pasien diharapkan tidak menghubungkan penyakitnya dengan penyakit jasmani, penyakit itu bagian dari dirinya sendiri. Ketiga, analis harus dapat menghasyati peranan pasien. Karena analis diharapkan mampu melakukan apa yang disebut « transferensi« yaitu usaha untuk mengidentifikasi diri dengan pasien dengan segala penyakitnya. Berdasarkan transferensi ini, menurut habermas, jelas bahwa pengethuan analis tidak bersifat kontemplatif.
Habermas mengkritik marxisme yang ortodoks dengan mengemukakan empat alasan : pertama, berbeda dari zaman kapitalis liberal saat ekonomi menentukan kebijakan politis, karena intervensi negara terhadap pasar, politik bukanlah superstruktur. Kedua, perkembangan hidup dewasa ini sudah begitu jauh, sehingga revolusi tidak dapat legi dikorbankan melelui istilah ekonomi. Dikarenakan kecemburan tak hanya dirasakan oleh pihak buruh, tapi juga kelas sosial lainnya. Ketiga, kaum proletar tidak dapat dijadikan tumpuan harapan agen perubahan, yang terjadi hanya ketegangan antar negara-negara kapitalis dan komunis. Keempat, dengan berdirinya unisoviet memadamkan diskusi kritis mengenai marxisme sehingga marxisme lambat laun kehilangan daya tariknya sebagai ilmu.
Menurut habermas konsep peran sosial bisa berlaku dalam sebuah masyarakat yang interaski sosialnya diarahkan oleh tindakan rasional bertujuan, dan cocok untuk masyarakat kapitalis tetapi tidak untuk segala jaman. Peran sosial dapat dimanfaatkan sebagai alat analisis. Teori marx yang asli sebetulnya bersifat historis. Pertama, marx memandang masyarakat sebagai sebuah totalitas dimana aspek sosial dan ekonomi bersifat integral. Kedua, masyarakat juga dipandang sebagai proses historis yang dialektika. Ketiga, dalam pemikiran marx teori dan praksis terpadu.
Menurut silsilah teori kritis kerena mengkaitkan kritik dengan krisis objektif. Penelitian epistimologi sangat penting (abad 18), sebab konsep teologis tentang ksitan kritik dan kritis diterapkan dalam filsafat sejarah. Pada abad ini pemahaman kritis sudah dilepas dari kedua unsure penting tersebut dalam pengertian sebelumnya. Karena pertama, kritik dilepas dari unsure pragmatis: kritik tidak lagi dihubungkan dengan dunia peradialn atau dunia medis. Kedua kritik juga dilepaskan dari konteks krisis yang objektif, yang masih tersimpan ajaran-ajaran Kristen tentang sejarah penyelamatan. Menurut habermas teori sosial marx bersifat kritis, dalam arti memiliki maksud praktis untuk megatasi krisis pada aba ke 19 yaitu krisis ekonomi yang bersifat objektif, dan antara kritik dan krisis berdiri diatas filsafat dan ilmu pengetahuan. Menurut habermas, marx tidak membuat penulaian modal atas tingkah laku para pemilik modal individu, melainkan bagaimana eskploitasi berlangsung, karena kedudukan kaum buruh terhadap proses produksi. Marx menujukkan bahwa proses krisis dalamsistem kapitalisme juga muncul dari proses akumulasi modal, dari perampasan nilai lebih atau keuntungan.
Salah satu minat besar dari sekolah Frankfurt dalam pengembangan teori kritis adalah menyusun sebuah teori tentang modernisasi. Menurut weber mendewakan rasionalitas yang semula dianggap sebagai otonomi dan kebebasan, manusia justru terperangkap dalam jaringan birokrasi yang impersonal yang membuatnya kehilangan makna serta aspirasinya sebagai mahluk yang bermartabat. Konsep rasional yang digunakan weber, untuk berbagai konteks, seperti segi tindakan tertentu, keputusan dan pendangan hidup sietematis atau “rasionalitas tujuan”. Weber membedakan tindakan berdasarkan rasionalitas nilai itu dari tindakan tradisional yang didorong oelh emosi dan afeksi atau tindakan rasional nilai itu merupakan deduksi kaidah praktis dari prinsip universal. Habermas menjelsakan tentang rasionalisasi weber adalah kegiatan sosial-ekonomi masyarakat modern diatur olrh keputusan dan tindakan rasional sebagaimana tampak pada birokrasi dan adminitrasi.
Mazhab Frankfurt untuk mengkritik bentuk rasionalitas yang menindas dalam masyarakat, apa yang mereka sebut “rasionalitas teknologis” (marcuse), “rasio instrumental” (horkheimer), ”mitos” (adorno dan horkheimer). Praksis adalah tindakan dasar manusia dalam dunia diluar dirinya dalam alam dan masyarakat. habermas membedakan praksis manusia dengan dua dimensi “kerja” dan “interaksi” atau ”komunikasi”. Dua macam tindakan yaitu “tindakan rasional-bertujuan” (dimensi kerja): tindakan bersifat instrumental artinya mematuhi aturan teknis berdasarkan pengetahuan empiris untuk meramalkan hasilnya dan memilih sarana yang tepat untuk mewujudkan tujuannya. “Tindakan komunikasi” (dalam berkomunikasi): istilah ini mengacu pada tindakan yang diarahkan oleh normati yang disepakati bersama, berdasarkan harapan timbale balik diantara subjek-subjek yang berinteraksi. Habermas membedakan sejarah modernisasi dari masyarakat tradisonal pada tiga tahap: masyarakat tradisional, masyarakat kapitalis liberal dan masyarakat kapitalis lanjutan.
Habermas mengatakan ada dua rasionalisasi, yakni : rasionalisasi dari bawah, interaksi sosial semakin diatur oleh norma-norma tindakan rasional bertujuan. Rasionalisasi dari atas: krisis legistimasi tradisional atau sekularisasi karena mitos, agama dan metafisika keilangan daya ikatnya pada tingkah laku sosial dan sebagai gantinya muncullah ideology borjuis yang mengumandangkan kebebasan. Habermas pun berpendapat bahwa tahap inilah ilmu dan teknologi berfungsi sebagai ideology (kesadaran teknokratis). Marcuse tentang ilmu dan teknologi sebagai ideology tak lain dari pergantian ideology demi ideology. Yang terpenting dari TSI adalah evaluasi habermas atas proses rasionalisasi.
Menurut habermas ada empat serangan terhadap filsafat sejarah dan evolusionisme: tiga berasal dari historisme dan terkhir dari filsafat kehidupan yang dipengruhi oleh Nietzsche. Weber mengembangkan teori rasionalisasinya berdasrkan kritik yakni : Kritik pertama. Ditujuakan kepada determinisme evolusioner yang beranggapakan bahwa masyarakat mengandung hukum perkembangan evolusioner. Kritik kedua, ditujukan pada naturalism etis yang berpandangan bahwa kemajuan alamiah adalah juga kemajuan moral. Berpijak pada neo-kantianisme yang membedakan antara pernyataan factual (is) dan pernyataan moral-normatif (ought). Kritik ketiga ditujukan pada universalisme yang menganggap perkembangan sosial itu bersifat universal. Kritik keempat adalah terhadap rasionalisme dalam filsafat sejarah yang menganggap ilmu dan teknologi menghasilkan rasionalitas.   
Habermas mengatakan rasional barat menyebar dan memasuki tiga segi kehifupan masnusia yaitu masyarakat, kebudayaan dan kepribadian. Dalam segi kebudayaan, rasionalitas dapat dilihat dalam ilmu pengetahuan modern, teknologi, seni otonomi dan etika. Webwe membedakan rasionalitas dalam dua segi: afeksinya suatu sarana dan tepatnya suatu tujuan, habermas menyebutnya: “rasionalitas instrument” yang bersifat fomal, “rasionalitas pilihan” bersifat subtansi dan stategis, keduanya tercakup pada konsep tindakan “rasional-bertujuan”. Weber menambahkan rasional ketiga yaitu “rasionalitas nilai” yang bersifat normatif. Dalam dimensi etis yang sudah dirasionalitaskan menurut habermas ada tiga unsur: (1). Adanya konsep dunia yang diabstraksikan dari satu pandangan untuk totalitas hubungan antar pribadi yang diatur secara normatif. (2). Adanya diferensiasi sikap etis murni yang dapat digunakan untuk menguji norma. (3). Adanya perkembangan konsep tentang pribadi yang universal sekaligus universal yang berkaitan dengan suara hati, tanggung jawab moral, otonomi dan seterusnya. Dalam segi konitif pandangan dunia tercakup tiga unsur: (1). Adanya konsep dunia yang bersifat formal, dengan kaitan-kaitan sebab akibat yang bersifat universal. (2). Adanya perbedaan sikap teoritis murni yang dipisahkan oleh praktek dan dengan itu orang dapat memastikan adanya kebenaran secara kontemplatif. (3). Adanya pengembangan konsep pengetahuan yang menurut subjek membersihkan diri dari berbagai macam kepentingan dan penilaian.
Habermas membedakan dua macam modernisasi, “dari atas” modernisasi meliputi penanaman motivasi dan perwujudan struktur kesadaran. « dari bawah« meliputi pengatasan konflik kepentingan yang muncul dari masalah reproduksi ekonomi dan perebutan kekuasaan politis. Weber meneliti bagaimana potensi konitif hasil rasionalisasi pandangan dunia berkerja pada tarf kemasyarakatan. Habermas mengatakan institusionalisasi tidak lain « penetapan subsistem tindakan rasional bertujuan ».
Weber berpendapat bahwa bidang kesadaran terwujud dalam aturan hidup yang antagonis yang dibagi menjadi tiga aturan : (1).kegiatan ilmiah (konitif), (2). Komunitas religius (normatif), (3).kegiatan artistik (ekspresif). Ketiga aturan tersebut memiliki perwujudan ideal kebudayaan : pengetahuan, komunitas, dan seni. Asketisme rasional yang terdapat pada masyarakat kapitalis berhubungan dengan konsumerisme. Habermas menambahkan rasa keterasingan dan putus asa menyertai demitologisasi, mekanisme produksi dan birokratisasi.
Habermas bahwa rasionalitas terbagi menjadi tiga macam rasional otonom yaitu : (1).rasionalitas kognitif-intrumental (sesuai dengan rasionalitas-tujuan dalam pengertian weber). (2).rasoinalitas praktis-moral.(3).rasoinalitas praktis dan estesis. Sebuah kompleks hidup yang dirasionalitaskan menurut haberms berarti menghasilkan pengetahuan yang memiliki klaim kesahihan (validity claim) tertentu sehingga dalam kompleks ini subjek yang berkomunikasi dapat mencapai konsensus. Kompleks yang pertama dan kedua :yang dapat dirasionalkan adalah sikap mengobjektifkan alam dan masyarakat yang menghasilkan rasionalitas konitif dan-instrumental. Pengetahuan yang dihasilkan dapat berwujud ilmu pengetahuan dan teknologi juga teknologi sosial. Kompleks ketiga dan keempat adalah sikap konformatif-norma terhadap masyarakat dan dunia batin yang menghasilkan kompleks rasionalitas praktis-moral. Pegetahuan yang dihasilkan lewat rasionalitas kompleks ini adalah hukum dan moralitas. Komplek kelima dan keenam : yang dapat dirasionalitaskan adalah sikap ekspresif terhadap batin dan alam yang menghasilkan kompleks rasionalitas praktis estetis, yang dihasilkan dapat bereujud erotisme danseni.
            Menurut habermas ada dua konsep untuk memehami materialisme sejarah, melalui kerja sosial dan sejarah spesies. Habermas membuat sebuah distingsi radikal mengenai praksis, praksis adalah tindakan dasar manusia sebagai spesies ada dua macam praksis : kerja dan komunikasi. Kerja adalah tindakandasar manusia terhadap alam, sedang komunikasi adalah tindakan dasar manusia terhadap sesamanya. Termasuk dalam dimensi kerja adalah tindakan rasional-bertujuan, entah tindakan yang dilakukan kepada alam (tindakan instrumental) atau pun kepada sesama manusia (tindakan stategis) dan termasuk dalam dimensi komunikasi adalah tindakan komunikatif.  Habermas pun telah mengkritik pengandaian-pengandaian dasar meterialisme sejara sebagai teorievolusi sosial.
            Sebuah masyarakat melakukan modernisasi akan mengalami rasionalisasi. Dalam hipotesisnya habermas mengatakan modernisasi kapitalis telah merasionalisasikan ,masyarakat dengan satu bentuk rasional dominan,yang disebut weber «rasionalitas tujuan « atau oleh habemas «rasionalitas kognitif-instrument«, jenis rasionalitas seperti ini hanya cocok digunkan untuk mengembangkan kontrol teknik atas alam dan proses-proses yng diobjektifkan. Rasionalitas seperti itu jika diwujudkan pada politik hanya akan mewujudkan model teknokratis. Terdapat rasionalisasi dalam dimensi komunikasi, dan rasionalitas kekuasaan didasarkan pada sebuah rasionalitas yang bukan kognitif instrument. Menurut aristoteles politik berhubungan dengan etika, yakni sebagai ajaran tentang hidup yang baik dan adil terhadap masyarakat.
            Habermas dalam rasionalitas kekuasaan adalah sebuah pandangan yang sudah sangat maju dari seorang filsuf yang merefleksikan arah-arah perkembangan masyarakat modern secara sadar. Dunia politik adalah dunia yang paling bebal terhadap politik, sedang kritisisme dunia ilmiah yang diterapkan pada dunia politik. Habermas tidak memandang rasionalisasi kekuasaan sebagai ide normatif belaka. Rasonalisasi,(dasar) adalah aspirasi modern. Ide, itu memerlukan perjuanagn untuk dapat diwujudkan dalam realitas dan ini mengandaikan suatu kehendak politis yang dilandasi oleh kepercayaan akan rasionalitas.
            Habermas sebagai neo-marxis, melihat mendiagnosis zaman ini, bukanlah krisis ekonomi namun krisis sosialkultural. Krisis itu tampil sebagi krisis legistimasi ynag berakal pada krisis motivasi, krisis itu bukanlah sebuah prognosis melainkan diagnosis yang bersifat kondisional. Dalam « the taks of a critical theory of society » tercakup kolonisasi dunia kehidupan akan melahirkan-potensi-potensi protes baru yang berbeda dari konflik dalam masyarakat liberal-lanjut muncul bukan dari wilayah reproduksi cultural (komunikasi sosial) dan integrasi sosial. Dalam « waht does a crisis mean today« secara emplisit adalah semua ini (gerakan-gerakan protes) adalah wilayah-wilayah pokok untuk menguji hipoteses kita bahwa masyarakat-masyarakat kapialis lanjut terancam oleh keharusan legistimasi. Utopia kerja sosial yang telah mendorong meodernisasi sejak awal, sedangkan utopia itu sendiri mulai bergeser kearah komunikasi sosial.
Habermas mengacu pada sebuah prinsip normatif tentang masyarakat yang bekomunikasi bebas dari dominasi. Refleksi diri adalah sebuah teori dasar yang terbuka terhadap kritik dan dialog. Konsep sentral dari habermas adalah krisis legistimasi dan krisis motivasi, krisis legistimasi adalah defisit motivasi umum sementara krisis motivasi adalah defisit loyalitas massa, dan keduanya saling keterkaitan erat dan juga distingsinya masih belum jelas. Sejak awal habermas menyusun sebuah teori dengan maksud prakis, artinya teori kritis juga diharapkan dapat membimbing praksis.

No comments:

Post a Comment