Monday, January 2, 2012

review Manusia dan kebudayaan Ernst Cassirer

Manusia dan kebudayaan Ernst Cassirer
Bab 1
            Pengendalian diri merupakan tujuan tertinggi dalam kaijan filosofis. “la plus grands chose du monde c`est de scavoir etre a soy” tulisan Montaigne yang berarti soal paling besar di seluruh dunia ini adalah mengendalikan diri sendiri. Melalui  -metode instrupeksi-  namun tidak ada kebebasan dari kesangsian-kesangsian kaum skeptisis. Namun kemajuan metode pengetahuan psikologis hampir tidak menunjang prinsip  Cartesian.
            Kita tak dapat menyingkapkan kodrat manusia dengan cara yang sama dengan bila kita mendeteksi alam. Benda-benda fisik dapat diterangkan berdasarkan sifat-sifat objektifnya, tetapi manusia hanya dapat menjelaskan dan ditentukan berdasarkan kesadarannya.
Fakta ini menampilkan problem yang sama sekali baru, bahkan tidak mungkin dipecahkan dengan cara penyelidikan yang biasa. Observasi empiris dan analisis logis seperti yang dimaksud filsafat pra-sokrates. Terbukti tidak berdaya, dan tidak mencukupi. Ciri khas filsafat sokrates memang bukan kebaruan isi objektif, melainkan kebaruan aktivitas dan fungsi pemikiran, dan filsafat sampai saat ini dimengerti sebagai monolog intelektual yang diubah sebagai sebuah dialog. Kebenaran adalah hasil pemikiran dialektis.
Kebenaran takkan tergapai tanpa adanya melalui kerja sama terus menerus antar subjek yang saling bertanggung jawab. Berbeda dengan empiris, kebenaran hanya dapat dioahami melalui aksi sosial. Manusia dimaklumkan sebagai makluk yang terus mencari dirinya – makluk yang setiap saat menguji dan mengkaji secara cermat kondisi-kondisi eksistensinya. Dalam pengkajian ini dalam sikap kritis terhadap kehidupan manusia, terletak nilai sebenarnya dari hidup manusia. Aristoteles dalam Apologia “hidup yang tidak dikaji” adalah “hidup yang tidak layak untuk dihidupi”. Singkat kata dari pandangan aristoteles terhadap manusia adalah makluk yang, bila disodori dengan pertanyaan yang rasional, dapat serta mampu menjawab secara rasional. Oleh dasar inilah kemampuan mampu member tanggapan terhadap diri dan terhadap orang-orang lain, sehingga manusia menjadi makluk “bertanggung jawab”, menjadi subjek moral. Semua hal yang “ditambah dari luar” kepada manusia adalah kosong, kosong adalah hampa. Hakikat manusia tidak ditentukan oleh tambahan-tambahan yang berasal dari luar, ia semata-mata tergantung pada penilaian diri, pada nilai yang diberikannya kepada dirinya sendiri. Kekayaan, pangkat, kesehatan dan kepandaian- semua itu tidak pokok (adiaphoran),. Satu-satunya persoalan adalah kecenderungan sikap-terdalam pada hati manusia. Dan prinsip nurani ini tidak dapat dihancurkan. “hal yang tidak dapat memperburuk diri manusia, tidak dapat juga melukainya baik dari luar diri maupun dari dalam” Mascus, Aurelius Bk V, per 15.
Filsafat Stoa tuntunan untuk mengendalikan diri sebagai mana dalam persepsi sokrates, yang merupakan keistimewaan dan kewajiban dasar manusia. Kewajiban itu mengalami pengembangan yang lebih tidak melihat semata-mata dari latar belakang moral, tetapi lebih memandang universal dan metafisis sebagai latar belakang yang lebih luas. Manusia membuktikan kemampuan kritisnya dengan menujukkan adanya hubungan ketertariakan Dirilah (self) dan bukanlah alam semesta (universe) yang memainkan peranan dan menentukan. Hidup pada dirinya sendiri selalu berubah dan mengalir, namun nilai hidup sesungguhnya harus dicari dalam tatanan abadi yang memuat keterbaruan. Tatanan abadi itu tidak terdapat dalam dunia inderawi, dan hanya dapat diraih melalui daya pertimbangan. Pertimbangan adalah kemampuan sentral manusia, sumber utama bagi kebanaran dan moralitas, dikarenakan daya pertimbangan manusia adalah satu-satunya hal dimana manusia tergantung sepenuhnya pada dirinya sendiri, daya pertimbangan itu bebas otonom dan mandiri. Marcus Aurelius Bk V, par 14.
Yang dicari sekarang adalah teori umum tentang manusia yang berdasarkan atas observasi dan prinsip-prinsip umum  dari logika. Postulat pertama dari semangat ilmuiah, semangat baru ialah disisihkanya semua pengahalang semu yang sampai saat itu memisahkan dunia manusia dengan alam semesta. Baik metafisik klasik maupun agama dan teologi, bahwa kedua dokrin ini bertapa berbeda dalam metode dan tujuan, sebenarnya mendasarkan diri pada prinsip yang sama. Konsepsi pertama terhadap konsepsi baru tentang dunia ini semata-mata bersifat negative: reaksi bimbang dan cemas, paska berkata “les silence eternal de ces espaces infinis m`effraye” yang berarti keheningan abadi dari ruang angkasa tak terhingga menakutkan saya. System kopernikan menjadi salah satu instrumen agnostisisme filosofis dan skeptisisme yang berkembang pada abad keenam belas.
Teori tentang manusia kurang cukup. “Yang dicari sekarang adalah teori umum tentang manusia yang didasarkan atas observasi empiris dan prinsip-prinsip umum logika”. Logika secara matematis pada mulanya dianggap sebagai metode untuk upaya tersebut yang kemudian digantikan dengan pemikiran-pemikiran biologis yang mengutamakan teori evolusinya. Pemikiran baru muncul bukanlah pada fakta-fakta empiris dari evolusi manusia tetapi  bagaimana melakukan interpretasi teoretis atas fakta-fakta tersebut. “Teori evolusi telah menghancurkan batas arbitrer di antara berbagai bentuk kehidupan organis. Tidak ada spesies yang terpisah, hanya ada satu arus kehidupan yang kontinyu dan tidak terputus-putus”.
Bab 2
            Hidup adalah realitas terkahir dan tergantung pada dirinya, hidup tak dapat dijabarkan mellaui fisika dan kimia. Belajar antropologi, pembahasan dalam bab ini kemudian difokuskan kepada makhluk hidup sebagai bagian dari realita. Makhluk hidup yang bisa kita lihat sehari-hari, atau kalau boleh saya sebut sebagai makhluk hidup yang empiris, adalah binatang dan manusia. Dalam bab ini disebutkan, secara anatomi, manusia dan binatang sama – sama memiliki Merknetz dan Wirknetz tertentu namun ada satu hal khusus yang dimiliki manusia yang tidak dimiliki binatang yaitu terdapatnya sistem simbolis. Sistem simbolis pada manusia merupakan hasil analisa pada respon – respon yang diberikan manusia terhadap suatu keadaan.
Manusia tidak lagi dapat dikatakan hanya hidup dalam dunia fisik saja, tetapi juga telah hidup dalam dunia simbolis. Bahasa, mite, seni, dan agama adalah bagian-bagian dunia simbolis ini. Hal itu semua kemudian dapat dikatakan seperti bermacam-macam benang yang menyusun jaring-jaring simbolis, tali-temali rumit dalam pengalaman manusia. Setiap kemajuan dalam pikiran dan pengalaman manusia, akan memperbaiki dan memperkuat jaring-jaring tersebut. Cassirer mengatakan bahasa pertama-tama bukanlah ekspresi pikiran atau gagasan, melainkan ekspresi perasaan-perasaan, afeksi-afeksi. Manusia sebagai animal rationale, bukanlah para empiris, dan bukan untuk menerangkan kodrat manusia secara empiris.
Bab 3
Reaksi – Reaksi Binatang ke Respons – Respons Manusiawi dibuka dengan manusia seperti yang diketengahkan pada bagian akhir bab II dimana manusia yang dimodelkan sebagai animal symbolicum. Seperti yang dilakukan ilmuwan:
1.    Percobaan Wolfe terhadap kera-kera antropoid menunjukkan efektifnya “ganjaran hanya dalam bentuk tanda”.
2.    Georg Revesz dengan serangkaian artikel yang berbicara tentang “bahasa binatang”.
3.    Yerkes menyatakan berbagai tipe penandaan selain simbolis sering terjadi pada simpanse dan berfungsi secara efektif pula.
Metode pertama yang perlu dilakukan adalah “menemukan titik tolak logis yang tepat dan mengarah kepada interpretasi mendalam dan memadai terhadap fakta-fakta empiris”. Titik tolak yang dimaksud disini adalah definisi tuturan. ”Lapisan pertama dan paling dasar tentu saja bahasa emosi” yang dipandang bukan hanya sebagai ungkapan perasaan namun juga memiliki struktur sintaktis dan logis. pembedaan manusia dengan binatang dari sudut pandang bahasa mulai ditemukan titiknya dengan sebuah teori yang menyatakan bahwa “tuturan adalah suatu proses, suatu fungsi umum dari pikiran manusia”.
Bahwa manusia mahluk dengan pemikiran reflektif, yang mana “pemikiran reflektif” itu tergantung pada pemikiran simbolis, dan hal ini yang kemudian menurut Herder; menjadikan manusia sebagai mahluk simbolis.Hal ini diperkuat dengan adanya sebuah penelitian atas para penderita aphasia yang “tidak hanya kehilangan kemampuan menggunakan kata-kata tetapi mengalami perubahan kepribadian pula. Refleksi atau pemikiran reflektif adalah kemampuan manusia untuk memilih beberapa unsur tertentu dari keseluruhan arus gejala indrawi yang belum dibeda-bedakan; unsur-unsur itu diisolasi dan dijadikan pusat perhatian. Kemudian dia menegaskan dengan menyatakan bahwa manusia mahluk dengan pemikiran reflektif, yang mana “pemikiran reflektif” itu tergantung pada pemikiran simbolis, dan hal ini yang kemudian menurut Herder; menjadikan manusia sebagai mahluk simbolis.
Bab 4
Dunia Ruang dan Waktu Manusiawi berbicara bentuk-bentuk kebudayaan tidak bisa dilepaskan dari sifat ruang dan waktu dalam pengalaman manusiawi. Demikian itu disebut oleh Cassirer ruang dan waktu organis. Ruang dan waktu adalah bingkai, yang didalamnya seluruh realitas kita hadapi. Realitas yang merupakan pengalaman hidup manusia, tidak semuanya berada pada tataran yang sama. Ada yang berada pada lapisan atas, dan ada juga yang berada pada lapisan bawah dalam tatanan tertentu. Lapisan terendah dapat dikatakan dengan ruang dan waktu organis. Ruang yang berada pada lapisan lebih tinggi lagi adalah ruang abstrak/idea. Ruang inilah menjadi ruang simbolis dan yang mengarahkan manusia pada kehidupan budayanya. Pada kehidupan primitif, dengan kondisi kehidupan masyarakat primitif, hampir tidak akan ada kita temukan gagasan mengenai ruang abstrak. Ruang primitif adalah ruang aksi; dan aksi berpusat pada kebutuhan dan kepentingan praktis. Pemikiran primitif bukan hanya tidak mampu berpikir mengenai sistem ruang, tetapi juga tidak mampu menangkap bagan keruangan. Ruang kongkretnya tidak dapat dibentuk secara skematis. Hal ini juga tidak lepas dari kritik oleh Cassirer menyebutkan, “dari sudut pandangan kebudayaan atau mentalitas primitif, langkah menentukan dari ruang aksi ke konsep ruang ilmiah atau teoretis – ruang geometri – adalah langkah yang hampir – hampir mustahil”. Maka dari itu bahasa, mitis, ilmu pengetahuan, agama, seni merupakan proses manusia untuk menemukan hidupnya (habitat) yang manusiawi. Waktu,
Bagi  Cassirer adalah ruang organis itu sendiri yang arusnya terus berjalan namun tidak bisa kembali dengan sama persis. Fungsi ingatan pada makhluk organis adalah ‘rekaman’ pengalaman dari kejadian-kejadian yang berpengaruh terhadap reaksi-reaksi selanjutnya (masa depan). Masa depan adalah “dalam bentuk paling luhur kewajiban-kewajiban itu melampaui batas – batas kehidupan empiris manusia, yang berhubungan dengan dan beranalogi ketat dengan masalah-simbolis Ingatan ini merupakan proses pengakuan dan identifikasi, suatu proses ideasional yang amat kompleks. Manusia sebagai mahluk simbolis dengan realitas kehidupannya yang berada dalam ruang dan waktu, tentu memiliki kemampuan yang jauh melebihi kemampuan binatang. Kemampuan yang dimaksud itu adalah mengenai pengingatan dan kesadaran. Pengingatan merupakan kemampuan manusia dalam penataan kesan-kesan masa lalu yang ditempatkan pada titik waktu sebagai kerangka umum sebagai rangkaian kejadian partikular. Sementara kesadaran yang dimaksud merupakan penyadaran akan waktu, yang niscaya membuat konsepsi tentang tata rangkai semacam itu, kemudian akan berhubungan dengan kerangka lain yang kita sebut dengan “ruang”.

No comments:

Post a Comment